Apakah terbayangkan ketika manusia pertama kali menemukan api? Mungkin bukan cuma heboh dan kagum, tapi juga menakutkan. Cahaya di tengah gelap, panas yang bisa memasak, sekaligus membakar. Revolusi pertama yang benar-benar telah mengubah segalanya.
Lalu datang mesin uap. Lalu telegraf. Lalu listrik. Kita tidak pernah benar-benar siap, tapi waktu memaksa untuk ikut di dalamnya.
Saya termasuk generasi yang sempat mencicipi masa-masa surat dikirim lewat pos, SMS dibatasi 160 karakter, pager, sampai akhirnya kita bisa dengan bebas genggam smartphone dengan kamera, GPS, dan semua fitur yang dulu cuma ada di film atau buku fiksi ilmiah.
Saya juga masih ingat saat internet dianggap barang mewah. Harus dial-up, nunggu tengah malam, dan rebutan dengan telepon rumah. Atau rebutan koneksi di balai desa, sekolah dan kampus demi koneksi gratis. Tapi kini? Wi-Fi nyaris jadi kebutuhan pokok, disandingkan dengan air dan nasi.
Perkembangan teknologi itu tidak pernah benar-benar berhenti. Dulu harddisk 1MB besarnya seperti kulkas mini. Sekarang, 1TB cukup masuk saku celana. Dari mobil hingga pesawat, dari mesin ketik ke laptop sangat tipis, dari toko offline ke marketplace. Kita tidak cuma melihat perubahan, tapi benar-benar hidup di dalamnya.
Dan sekarang, datanglah AI.
Bukan pelan-pelan, tapi seperti tsunami. Diam-diam, lalu menyapu bumi. Tidak semua siap. Banyak yang masih bingung dan terkesiap. Banyak juga yang panik dan meratap.
AI membuat kita bisa bekerja lebih cepat, berpikir lebih tajam, bahkan kadang membantu menjawab pertanyaan yang sulit dijelaskan manusia. Tapi di sisi lain, AI juga mengancam. Banyak pekerjaan yang perlahan tergeser. Tanpa suara. Seperti ditikam dari belakang.
Pertanyaannya: apakah kita siap beradaptasi? Atau hanya akan terdiam, lalu tergilas?
Saya masih percaya, menolak AI bukanlah solusi. Sama seperti kita tidak bisa menolak datangnya listrik, internet, atau ponsel. Yang bisa kita lakukan hanyalah beradaptasi secepat mungkin. Menjadikannya alat bantu, bukan musuh. Menggunakannya untuk memperbesar dampak, bukan menghapus peran.
Bahkan ketika tubuh sudah tidak seproduktif dulu, AI bisa jadi perpanjangan tangan. Bahkan ketika waktu terbatas, AI bisa bantu menyelesaikan lebih banyak hal. Kalau kita mampu berdamai, dan belajar memanfaatkannya, mungkin AI bukan ancaman. Tapi sekutu.
Semoga kita termasuk yang bisa melangkah cepat beradaptasi, mencari titik keseimbangan baru, menjaga relevansi di masa-masa kini, ketika AI akan terus mendominasi.
Dan ya, proses pembuatan tulisan ini dibantu AI. 😀