Category Archives: internet related

Augment: JIRA Automation Platform Designed to Streamline SDLC Workflows

Keeping JIRA tickets clean, detailed, and actually useful is still one of the most repetitive and error-prone parts of modern software development. PRDs live in one place, commits in another, discussions in Google Chat/Slack/Teams, and tickets often end up as shallow summaries that no one wants to maintain.

Tickets that start vague. PRDs that drift from what actually gets built. Stories that look “done” but quietly hide missing work. And the slow, invisible debt of rewriting the same context again and again across JIRA, docs, and pull requests.

That gap is exactly what Augment is built to address.

Augment is a self-hosted, AI-powered system designed to automate how JIRA tickets are written, broken down, and kept in sync with real engineering work.

Continue reading

Building a Better Engineering SDLC Workflow with AI

AI has exploded across the tech world, and it feels like every week brings a new tool, model, or headline. But inside our team, the conversation has been a little different. We’re not asking how to “chase” AI. We’re asking how to use it to make everyday engineering life a little calmer, a little clearer, and a lot more effective.

This is a look at what we’ve been trying, what has worked, what hasn’t, and where we hope all of this is going.

Continue reading

Nexus Hub

Lately, I’ve been spending more time building small internal tools instead of chasing shiny features. Not because features aren’t important, but because it feels more meaningful to fix the way of working rather than just keep shipping the same old workflow.

There’s something satisfying about creating systems that reduce friction, standardize thinking, and let teams move faster without repeating the same manual steps forever.

This time, I’m working on something I call Nexus Hub.

Continue reading

AI dan Gelombang Revolusi

Apakah terbayangkan ketika manusia pertama kali menemukan api? Mungkin bukan cuma heboh dan kagum, tapi juga menakutkan. Cahaya di tengah gelap, panas yang bisa memasak, sekaligus membakar. Revolusi pertama yang benar-benar telah mengubah segalanya.

Lalu datang mesin uap. Lalu telegraf. Lalu listrik. Kita tidak pernah benar-benar siap, tapi waktu memaksa untuk ikut di dalamnya.

Saya termasuk generasi yang sempat mencicipi masa-masa surat dikirim lewat pos, SMS dibatasi 160 karakter, sampai akhirnya kita bisa dengan bebas genggam smartphone dengan kamera, GPS, dan semua fitur yang dulu cuma ada di film atau buku fiksi ilmiah.

Saya juga masih ingat saat internet dianggap barang mewah. Harus dial-up, menggunakan modem dengan sinyal seadanya. Atau rebutan koneksi di balai desa, sekolah dan kampus demi koneksi gratis. Tapi kini? Wi-Fi nyaris jadi kebutuhan pokok, disandingkan dengan air dan nasi.

Perkembangan teknologi itu tidak pernah benar-benar berhenti. Dulu harddisk 1MB besarnya seperti kulkas mini. Sekarang, 1TB cukup masuk saku celana. Dari mobil hingga pesawat, dari mesin ketik ke laptop sangat tipis, dari toko offline ke marketplace. Kita tidak cuma melihat perubahan, tapi benar-benar hidup di dalamnya.

Dan sekarang, datanglah AI.

Continue reading

Kerja Remote

Kerja Remote bisa diartikan bekerja tetapi tidak di kantor. Pilihan tempat kerja bisa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan, bisa di rumah, di working space, cafe dan lain sebagainya.

Dengan kondisi pandemi seperti saat ini, semakin banyak orang yang kerja remote, atau saat ini lebih dikenal dengan kerja dari rumah (work from home).

Bagi yang bekerja di bidang IT, perubahan dari kerja di kantor menjadi kerja remote umumnya tidak menjadi masalah yang besar karena hampir semua pekerjaan bisa dilakukan secara remote. Untuk bidang pekerjaan lain kemungkinan perlu penyesuaian yang lumayan untuk bisa mendukung kerja remote.

Continue reading

Rindu Social Media yang Dulu

Gegap gempita berita politik dan juga hal-hal terkait agama, menjadi posting mayoritas di berbagai social media beberapa tahun terakhir ini. Tak ketinggalan berita-berita hoax yang terkait dengan kedual hal tersebut pun menjamur dan tidak terbendung. Begitu reaktif para netizen mengomentari maupun sharing berita maupun tulisan yang terkait dengan politik dan agama.

Tanpa disadari pun, kedua hal tersebut pula yang menjadi pemicu perdebatan tak berujung. Dan menjadi lahan bisnis kebencian. Akhirnya, menurut saya, membuat ‘suasana’ social media menjadi tidak nyaman lagi. Sudah banyak teman yang saya hide atau mute, karena postingan-postingan mereka menurut saya terlalu provokatif, dan membuat perasaan saya yang membacanya menjadi tidak nyaman.

Memang setiap postingan menjadi tanggung jawab masing-masing dan merupakan hak kebebasan berpendapat. Tapi kok menurut saya sekarang sudah kebablasan.

Saya sampai saat ini masih berpendapat, agama dan politik adalah hal yang pribadi, dan sebaiknya didiskusikan di group-group terbatas dimana memang anggota-anggota group tersebut sudah siap berdiskusi, dan bukan di wilayah umum, seperti status, tweet, dan lain sebagainya.

Saya merindukan social media yang dulu, ketika postingan terbanyak adalah pamer foto-foto liburan, pernikahan, maupun kelahiran bayi, bahkan jualan barang-barang. Atau saat dimana postingan lebih banyak mengenai kegalauan. Memang saat ini masih ada juga yang posting mengenai hal tersebut, namun sepertinya kalah pamor dengan yang posting politik dan agama.

Sepertinya saya harus memperpanjang puasa social media dan masih harus menahan kerinduan tentang kenyamanan social media yang dulu pernah ada.

Bisnis Kebencian

Seiring dengan populernya berbagai macam kanal social media, semakin mudah juga untuk seseorang mempostingkan sesuatu. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut lantas membuat segelintir orang memanfaatkannya menjadi sebuah bisnis. Yaitu bisnis kebencian.

Bisnis ini memanfaatkan media seperti facebook fans page, website, twitter, dan berbagai macam media lain dengan cara membuat potensi konflik atau perbedaan pendapat yang akan selalu dijaga agar terus menerus tidak bisa akur.

Bisnis ini selalu menggunakan bahasa yang provokatif, mencari-cari kesalahan, memutar-balikkan fakta, menyebarkan hoax, dan (sering kali) membawa-bawa dalil agama. Dan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar begitu reaktif akhirnya bisa membuat posting tersebut menjadi viral. Menyebar tanpa bisa dibendung. Menghasilkan trafik ribuan, klik ribuan, di-share ribuan, dan menghasilkan ribuan komentar pula, baik yang pro maupun kontra. Dan berakhir dengan bertambahnya pundi-pundi kekayaan para pelaku bisnis ini.

Cara-cara tersebut selalu diulang, dan bisa dikatakan selalu berhasil. Kalau diprotes, akhirnya menyebarkan klarifikasi. Tetapi klarifikasi atas sebuah posting kebencian tidak akan pernah seviral posting kebencian itu sendiri. Dan besok-besok akan diulang kembali.

Sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Sampai kapan bisnis kebencian ini akan tetap laku?

Berpuasa Social Media

Saya sedang mencoba untuk mengurangi interaksi dalam social media. Dari sekitar akhir tahun lalu, saya hanya mempunyai dua account social media, yaitu facebook dan twitter. Dan saya mencoba untuk membatasi aktivitas di dalam kedua social media tersebut.

Account-account saya yang lain sudah saya non aktifkan bahkan saya hapus. Termasuk instagram, linked in, dan path.

Untuk Facebook, saya tidak begitu kesulitan untuk mengurangi aktivitas di dalamnya. Saya sangat jarang membuka facebook. Mungkin dalam seminggu hanya sekali. Itu pun hanya cek notifikasi saja. Facebook mulai terasa membosankan dengan banyaknya posting-posting yang menurut saya tidak pantas disharing. Seperti informasi hoax, sampai pesan kebencian terhadap suatu hal.

Sedangkan untuk twitter, saya agak kesulitan untuk mengurangi aktitivas di dalamnya. Twitter menjadi sumber utama saya dalam mendapatkan informasi. Bahkan di dalam Twitter saya juga membuat berbagai macam list untuk mengkategorisasikan informasi-informasi tersebut. Sehingga saya agak kesulitan dalam mengurangi ‘kecanduan twitter’. Akhirnya aplikasi twitter client saya uninstall baik di laptop maupun handphone. Setidaknya dengan menghapus aplikasi twitter client tersebut mempersulit saya membuka twitter.

Mengurangi aktivitas di social media saya pilih karena saya merasa ketergantungan. Seakan-akan ada yang kurang kalau tidak berinteraksi di dalamnya. Sehingga dengan usaha saya berpuasa social media semoga saja bisa mengurangi ketergantungan tersebut.

Tetapi saya tidak sepenuhnya menghindari social media. Hanya saja tidak serutin dulu. Jadi kalau mau follow maupun mention twitter juga boleh. Atau bisa juga posting di wall facebook saya. Tetapi mohon maaf kalau responsenya lebih lama. 🙂